Betapa seringnya, kita, para penempuh jalan dakwah yang mulia ini menjadi resah sendiri. Di banyak tempat, kita sering menyaksikan fenomena ketidaksabaran dalam menjalani dan melewati aral, onak, dan duri dalam kisah kemuliaan dakwah ini. Suatu saat, kita mendengar dan menyaksikan para pemuda Islam melakukan penghancuran dan pengrusakan atas nama jihad. Di kali yang lain, kita melihat ketidaksabaran itu mewujud dalam berbagai vonis-vonis kesesatan dan pengkafiran yang begitu mudah terucapkan atau tertuliskan. Dan di waktu yang lain, ketergesaan itu diwujudkan dalam bentuk kepercayaan diri yang berlebihan untuk memasuki dunia politik praktis; seolah itu menjadi sebuah jaminan (baca: satu-satunya jalan) untuk mewujudkan Islam dengan seluruh perangkat komprehensifnya.
Marilah kita berbincang sedikit tentang mereka yang sibuk dengan politik praktis. Di sebuah negri antah berantah, sejumlah pemuda Islam yang sebelumnya tersibukkan dengan tarbiyah tiba-tiba mewujud menjadi sebuah partai politik. Entah apa yang menjadi pertimbangan mereka. Mungkin saja dakwah. Dan benar sekali bahwa Islam memiliki satu bagian penting yang dikenal dengan istilah Siyasah Syar’iyah atau politik yang berlandaskan Syariat-sekali lagi: berlandaskan Syariat!-.
Tetapi mengatasnamakan “dakwah” itu kemudian semakin tidak jelas saja dari waktu ke waktu. Entah dakwah apa yang mereka maksud. Karena atas nama kemaslahatan dakwah, para ikhwannya sudah mulai boleh mencukur jenggot dan isbal. Para akhawatnya dari waktu ke waktu semakin enjoy mengenakan jilbab tabarrujnya, dengan alasan agar tidak terkesan tertutup dan membuat orang lari. Berbagai event dan acara besar yang dilaksanakan sudah tidak lagi mempersoalkan ikhtilath atau percampurbauran antara tamu pria dan wanita. Atas nama dakwah, terkadang garis toleransi menjadi demikian kaburnya. Kelak, bisa saja sang partai akan merobek batas itu jika harus memenuhi target suara tertentu! Yah, jika yang selalu menjadi orientasi adalah mempertahankan eksistensi partai, maka sangat mungkin terjadi “penghalalan” segala cara (seperti kasus “caleg non muslim”, meski kemudian telah diklarifikasi oleh si partai antah berantah).
Ini mungkin salah satu contoh saja dari ketergesa-gesaan itu.
Maka sekedar mengingatkan, jalan dakwah ini adalah jalan yang sangat panjang. Para penempuhnya harus memiliki persediaan kesabaran yang berlimpah untuk melewati jejak-jejaknya. Yah, harus ada ‘azam yang teguh layaknya para ulul ‘azmi dari kalangan Rasul. Kelak di ujung jalan usia kita menempuh jalan dakwah itu, mungkin kita berpulang pada Allah dengan 100 pengikut, 50, 20, 5, 1, atau tanpa pengikut samasekali. Tidak masalah. Sebab di jalan ini, yang terpenting adalah sudahkah kita menyampaikannya. Ada yang ikut atau tidak; semua itu di Tangan Allah Ta’ala.
Sebaliknya, seorang penempuh jalan dakwah harus terus menjaga keikhlasan hatinya, terutama dari penyakit ghurur. Jangan tertipu dengan ramainya khalayak pengikut yang terpesona dengan dakwah Anda. Jika kelak Allah menakdirkan ada puluhan ribu, bahkan jutaan kaum muslimin hadir dalam tabligh akbar Anda, maka itu adalah saat yang tepat untuk beristighfar dan berlindung dari penyakit ghurur. Yah, karena itu akan mengekang hasrat ketergesaan Anda untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya belum saatnya untuk dilakukan.
Nampaknya, kita harus belajar pada ikhwah kita di Jamaah Anshar al-Sunnah al-Muhammadiyah di Sudan. Simpati masyarakat Sudan pada mereka sudah sampai pada derajat: jika seorang pemuka Jamaah ini mencalonkan diri jadi presiden, maka ia pasti akan terpilih. Namun Jamaah ini sepakat untuk tetap bersabar. “Saatnya belum tiba untuk itu,” demikian ujar mereka. Subhanallah, bukankah ini sebuah kesabaran yang patut diteladani?
Maka lagi-lagi, kita harus berhenti sejenak untuk merenungkan skala prioritas dakwah kita. Teringatlah kita pada ungkapan hikmah yang mengatakan: “Tegakkan Negara Islam dalam dirimu, niscaya ia akan tertegak di tanah airmu.” Maka seluruh upaya dakwah saat ini seharusnya berpusar pada: penegakan “Negara Islam” dalam pribadi-pribadi kaum muslimin. Melahirkan pribadi yang memiliki tauhid yang murni, tanpa noda syirik dan bid’ah, sesuai jejak al-Salaf al-Shaleh. Melahirkan jiwa-jiwa yang merindukan perjumpaan dengan Allah. Dan perjalanan untuk itu, sungguh masih terlalu panjang untuk sebuah negri yang jumlah penduduknya lebih dari 200 juta jiwa ini.
Maka, sekali lagi, jangan pernah tergesa-gesa…
(Abul Miqdad al-Madany/15-02-2008)
Marilah kita berbincang sedikit tentang mereka yang sibuk dengan politik praktis. Di sebuah negri antah berantah, sejumlah pemuda Islam yang sebelumnya tersibukkan dengan tarbiyah tiba-tiba mewujud menjadi sebuah partai politik. Entah apa yang menjadi pertimbangan mereka. Mungkin saja dakwah. Dan benar sekali bahwa Islam memiliki satu bagian penting yang dikenal dengan istilah Siyasah Syar’iyah atau politik yang berlandaskan Syariat-sekali lagi: berlandaskan Syariat!-.
Tetapi mengatasnamakan “dakwah” itu kemudian semakin tidak jelas saja dari waktu ke waktu. Entah dakwah apa yang mereka maksud. Karena atas nama kemaslahatan dakwah, para ikhwannya sudah mulai boleh mencukur jenggot dan isbal. Para akhawatnya dari waktu ke waktu semakin enjoy mengenakan jilbab tabarrujnya, dengan alasan agar tidak terkesan tertutup dan membuat orang lari. Berbagai event dan acara besar yang dilaksanakan sudah tidak lagi mempersoalkan ikhtilath atau percampurbauran antara tamu pria dan wanita. Atas nama dakwah, terkadang garis toleransi menjadi demikian kaburnya. Kelak, bisa saja sang partai akan merobek batas itu jika harus memenuhi target suara tertentu! Yah, jika yang selalu menjadi orientasi adalah mempertahankan eksistensi partai, maka sangat mungkin terjadi “penghalalan” segala cara (seperti kasus “caleg non muslim”, meski kemudian telah diklarifikasi oleh si partai antah berantah).
Ini mungkin salah satu contoh saja dari ketergesa-gesaan itu.
Maka sekedar mengingatkan, jalan dakwah ini adalah jalan yang sangat panjang. Para penempuhnya harus memiliki persediaan kesabaran yang berlimpah untuk melewati jejak-jejaknya. Yah, harus ada ‘azam yang teguh layaknya para ulul ‘azmi dari kalangan Rasul. Kelak di ujung jalan usia kita menempuh jalan dakwah itu, mungkin kita berpulang pada Allah dengan 100 pengikut, 50, 20, 5, 1, atau tanpa pengikut samasekali. Tidak masalah. Sebab di jalan ini, yang terpenting adalah sudahkah kita menyampaikannya. Ada yang ikut atau tidak; semua itu di Tangan Allah Ta’ala.
Sebaliknya, seorang penempuh jalan dakwah harus terus menjaga keikhlasan hatinya, terutama dari penyakit ghurur. Jangan tertipu dengan ramainya khalayak pengikut yang terpesona dengan dakwah Anda. Jika kelak Allah menakdirkan ada puluhan ribu, bahkan jutaan kaum muslimin hadir dalam tabligh akbar Anda, maka itu adalah saat yang tepat untuk beristighfar dan berlindung dari penyakit ghurur. Yah, karena itu akan mengekang hasrat ketergesaan Anda untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya belum saatnya untuk dilakukan.
Nampaknya, kita harus belajar pada ikhwah kita di Jamaah Anshar al-Sunnah al-Muhammadiyah di Sudan. Simpati masyarakat Sudan pada mereka sudah sampai pada derajat: jika seorang pemuka Jamaah ini mencalonkan diri jadi presiden, maka ia pasti akan terpilih. Namun Jamaah ini sepakat untuk tetap bersabar. “Saatnya belum tiba untuk itu,” demikian ujar mereka. Subhanallah, bukankah ini sebuah kesabaran yang patut diteladani?
Maka lagi-lagi, kita harus berhenti sejenak untuk merenungkan skala prioritas dakwah kita. Teringatlah kita pada ungkapan hikmah yang mengatakan: “Tegakkan Negara Islam dalam dirimu, niscaya ia akan tertegak di tanah airmu.” Maka seluruh upaya dakwah saat ini seharusnya berpusar pada: penegakan “Negara Islam” dalam pribadi-pribadi kaum muslimin. Melahirkan pribadi yang memiliki tauhid yang murni, tanpa noda syirik dan bid’ah, sesuai jejak al-Salaf al-Shaleh. Melahirkan jiwa-jiwa yang merindukan perjumpaan dengan Allah. Dan perjalanan untuk itu, sungguh masih terlalu panjang untuk sebuah negri yang jumlah penduduknya lebih dari 200 juta jiwa ini.
Maka, sekali lagi, jangan pernah tergesa-gesa…
(Abul Miqdad al-Madany/15-02-2008)
Komentar